1. Bahasa Melayu Kuno
KARAKTERISTIK BAHASA MELAYU
Bahasa Melayu Kuna merupakan keluarga bahasa Nusantara. Bahasa Melayu Kuna (MK) mencapai kegemilangannya dari abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman Kerajaan Sriwijaya, sebagai lingua franca dan bahasa resmi kenegaraan. Keberadaan bahasa ini diketahui dari prasasti dan keping tembaga yang ditemukan di seputaran Kepulauan Nusantara bagian barat, terutama di Pulau Sumatera. Beberapa sumber ditemukan di Pulau Jawa dan Pulau Luzon, Filipina.
Kosakata bahasa ini banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta, yang menunjukkan bahwa pengaruh budaya India banyak terserap dalam kehidupan sehari-hari masa itu. Bahasa Sansekerta hingga sekarang menyumbang kepada pengayaan kosakata Bahasa Melayu. A ksara yang digunakan dalam sumber-sumber MK bermacam-macam, mulai dari aksara Pallawa, aksara Jawa Kuna, dan aksara Melayu atau aksara Pasca-Pallawa[1].
Sumber-sumber bahasa Melayu Kuna
Sumber-sumber MK ditemukan pada prasasti-prasasti berikut:
- Prasasti Kedukan Bukit[2], Palembang (605 Saka / 683 M, (berbahasa Melayu Kuna, dan beraksara Pallawa)
- Prasasti Talang Tuwo, dekat Palembang (606 Saka / 684 M, huruf Pallawa, ditemukan oleh Residen Louis Constant Westenenk tanggal 17 November 1920 di sebuah kawasan bernama Talang Tuwo, di sisi barat laut Bukit Seguntang)
- Prasasti Kota Kapur, Pulau Bangka (608 Saka / 686 M, beraksara Pallawa)
- Prasasti Karang Brahi, Kabupaten Merangin, Jambi (614 Saka / 692 M, beraksara Pallawa)
- Prasasti Telaga Batu, Palembang, Sumatra Selatan, abad ke-7
- Prasasti Palas Pasemah, Palas, Lampung, abad ke-7
- Prasasti Hujung Langit, Hujung Langit, Lampung
- Prasasti Mañjuçrighra, Candi Sewu, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, 2 November 792M[3]
- Prasasti Sojomerto, Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Batang, Jawa Tengah[4]
- Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung, Jawa Tengah, 824 (dwibahasa, Melayu Kuna dan Jawa Kuna)
- Prasasti Gandasuli I dan II, Candi Gondosuli, Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, 832[3]
- Keping Tembaga Laguna, Manila, Filipina, 900[3]
- Prasasti Bukateja, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah[3]
- Prasasti Dewa Drabya, Dieng, Jawa Tengah[3]
- Prasasti Padang Roco[5] di (Kabupaten Dharmasraya sekarang) (dwibahasa, Melayu Kuna dan Jawa Kuna)
- Prasasti Suruaso[6], di Suruaso, Kabupaten Dharmasraya (berbahasa sansekerta, dan beraksara Melayu)
- Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah[1] di Kerinci (berbahasa Melayu Kuna, dan beraksara Melayu)
Karakteristik
Dari berbagai sumber naskah dan prasasti tampak sekali pengaruh dari bahasa Sanskerta melalui banyak kata-kata yang dipinjam dari bahasa itu serta bunyi-bunyi konsonan aspiratif seperti bh, ch, th, ph, dh, kh, h (Contoh: sukhatchitta). Namun demikian struktur kalimat jelas bersifat Melayu atau Austronesia, seperti adanya imbuhan (suffix). Imbuhan-imbuhan ini dapat dilacak hubungannya dengan bentuk imbuhan bahasa Melayu Klasik atau bahasa Indonesia[7], seperti awalan mar- (> ber- dalam bahasa Melayu Klasik), ni- (> di-), nipar- (> diper-), maN- (> meN-), ka- (> ter-), dan maka- (> ter-).
Pronomina pribadi, seperti juga bahasa Indonesia, juga terdiri dari pronomina independen dan ekliktik (genitif)[8]: 1s = aku, -ku/-nku, 2p = kamu, mamu, 3s = iya, nya, 3p (hormat) = sida, -da,-nda, 2p (divinum) = kita, -ta/-nta.
Dua dialek telah diduga oleh Aichelle di tahun 1942 dan A. Teeuw sejak 1959[9]: Dialek prasasti Sumatera: ni-/var- dan dialek luar Sumatera di-/bar-.
2. Bahasa Melayu Klasik
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu_Klasik
Bahasa Melayu Klasik adalah bentuk bahasa Melayu yang dipakai oleh Kesultanan Melaka (abad ke-14), Kesultanan Aceh, dan sejumlah entitas politik lain di sekitarnya, hingga abad ke-18. Apakah dialek temporal (waktu) ini merupakan perkembangan lanjutan dari bahasa Melayu Kuna yang dipakai oleh Kerajaan Sriwijaya atau perkembangan dari dialek lain yang berkembang terpisah tidaklah diketahui. Tidak ada bukti tertulis atau laporan mengenai perubahan/evolusi bahasa ini.
Bahasa Melayu Klasik ditandai dengan masuknya berbagai kosa kata pinjaman dari bahasa Arab, bahasa Parsi, dan (pada perkembangan selanjutnya) bahasa Portugis. Perkembangan ini berkait dengan menguatnya pengaruh agama Islam di Asia Tenggara pada sejak abad ke-13. Bahasa Melayu Klasik tercatat pada berbagai naskah-naskah hikayat dan bentuk susastera lainnya, peraturan perundangan, serta surat-surat komunikasi antara penguasa-penguasa Nusantara bagian barat. Terdapat pula beberapa prasasti dari periode awalnya.
Prasasti dan kesusasteraan
Terdapat tiga prasasti yang penting:
- Prasasti di Pagar Ruyung, Minangkabau (1356) ditulis dalam huruf India mengandung prosa Melayu Kuna dan beberapa baris sajak berbahasa Sansekerta. Bahasanya berbeda sedikit dengan bahasa batu bertulis abad ke-7.
- Prasasti Minyetujoh, Aceh (1380), untuk pertama kalinya mencatat penggunaan kata-kata Arab seperti kata "nabi", "Allah", dan "rahmat".
- Prasasti di Kuala Berang, Terengganu (1303-1387) ditulis dalam huruf Arab Melayu. Ini membuktikan tulisan Arab telah telah digunakan dalam bahasa Melayu pada abad itu.
Ketiga prasasti ini merupakan bukti-bukti terakhir perkembangan bahasa Melayu berbentuk batu bertulis, karena setelah abad ke-14, muncul kesusasteraan Melayu dalam bentuk tulisan.
Zaman kejayaan
Perkembangan bahasa Melayu Klasik Kejayaannya dapat dibagi dalam tiga zaman penting:
Di antara tokoh-tokoh penulis yang penting ialah Hamzah Fansuri dari Pancur/Barus, Syamsuddin al-Sumaterani, Syeikh Nuruddin al-Raniri dari Aceh, dan Abdul Rauf al-Singkel dari Singkil.
Ciri-ciri bahasa Melayu klasik
- kalimat: panjang, berulang, berbelit-belit.
- banyak kalimat pasif
- menggunakan bahasa istana
- kosa kata klasik: ratna mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya, masyghul (bersedih)
- banyak menggunakan perdu perkataan (kata pangkal ayat): sebermula, alkisah, hatta, adapun.
- kalimat sungsang
- banyak menggunakan akhiran pun dan lah
3. Bahasa Melayu modern
Bahasa Melayu modern adalah bahasa yang berawal pada abad ke-19. Hasil karangan Munsyi Abdullah-lah yang dianggap sebagai permulaan zaman bahasa Melayu modern.
Sebelum penjajahan Inggris di Malaysia, bahasa Melayu mencapai kedudukan yang tinggi, berfungsi sebagai bahasa perantara, administratif, kesusasteraan, dan bahasa pengantar di pusat pendidikan Islam.
Setelah Perang Dunia II, Inggris menjadikan bahasa Inggris sebagai pengantar dalam sistem pendidikan.
Setelah Malaysia merdeka, Perlembagaan Persekutuan Perkara 152 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan Malaysia.
Akta Bahasa Kebangsaan 1963/1967 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi negara Malaysia. Laporan Razak 1956 menetapkan bahasa Melayu sebagai pengantar dalam sistem pendidikan negara.
Selain di Malaysia, bahasa Melayu juga menjadi Bahasa Resmi di Singapura dan Brunei. Di Timor Leste dan Indonesia digunakan bahasa Bahasa Indonesia, sebuah dialek standar atau baku dari bahasa melayu.
Pranala luar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar yang ikhlas, santun, dialektika yang yang positif